Oleh Azimah Rahayu
Seberapa sering kita MENGINGINKAN atau
MEMIMPIKAN sesuatu? Pasti sering sekali. Tapi seberapa sering kita MERENCANAKAN
untuk memiliki sesuatu? Mungkin bisa dihitung dengan jari. Contohnya, kita
pengin punya rumah suatu saat nanti, tanpa gambaran kapan suatu saat itu dan
bagaimana mencapainya. Jarang kita berpikir “Aku ingin punya rumah di daerah X
seharga Y dengan alasan Z dan insyaAllah akan dapat direalisasikan dalam waktu
A dan dengan cara B”. Maka mengubah dream (mimpi) menjadi goal (tujuan yang
jelas) itu menjadi satu langkah kunci dalam mewujudkan sebuah cita-cita. Dan
kaitannya dalam kehidupan rumah tangga, langkah ini mau tidak mau harus
disertai dengan financial planning alias perencanaan keuangan. Bagaimanakah
financial planning itu? Dua kalimat slogan di bawah bisa jadi sedikit
menggambarkannya dengan cukup tepat.
It is not about how much you earn
money.
But it is about how much you save!
Kalimat itu saya temukan dalam makalah
kursus financial planning yang pernah saya ikuti. Kalimat itu juga pernah saya
temukan di buku Rich Dad Poor Dad karya Robert T Kiyoshaki yang terkenal itu.
Menurut pendapat sang Rich Dad (Ayah kaya) dalam buku itu, yang utama dalam
urusan pendapatan/materi bukanlah seberapa banyak uang yang dapat
dihasilkan/diperoleh, namun berapa banyak uang yang dapat ditabung dan
diinvestasikan kembali.
Dua kalimat di atas cukup
menginspirasi saya, meski dengan penekanan yang berbeda. Kalimat itu bagi saya
berarti bahwa berapapun pendapatan kita, semestinya kita dapat mengelolanya
dengan bijak sehingga selalu ada bagian yang dapat ditabung, untuk dapat
digunakan pada saat yang tepat di masa depan. Dan untuk itu, perencanaan
keuangan dan menabung adalah satu hal yang sangat penting bagi tiap orang.
Seperti halnya manajemen diperlukan dalam kehidupan birokrasi, organisasi dan
bisnis, manajemen keuangan adalah satu sarana mutlak dalam kehidupan rumah
tangga. Manajemen keuangan tidak ditujukan untuk membuat kita menjadi kaya,
namun agar segala potensi yang kita miliki dapat dimaksimalkan dan diatur
sehingga kehidupan ekonomi seseorang menjadi pas-pasan dalam levelnya
masing-masing. Pas butuh pas ada!
***
“Untuk biaya hidup sehari-hari saja
kurang. Mana sempat berpikir untuk menabung!” Kalimat ini adalah sebuah kalimat
yang biasanya tertancap dalam benak sebagian besar orang Indonesia yang telah
berkeluarga. Kalimat ini pula yang bisanya keluar jika seseorang ditanya
tentang berapa banyak dia menabung tiap bulannya. Paradigma ini membawa
keluarga indonesia pada budaya “hanya menabung jika ada selisih lebih antara
pendapatan dan pengeluaran”. Maka sangat logis jika kebanyakan keluarga
Indonesia tidak memiliki tabungan, bahkan lebih sering defisit karena
pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Rumus yang biasanya berlaku
adalah: Pendapatan - Pengeluaran = Selisih lebih (kurang). Bika lebih maka akan
ditabung atau diinvestasikan kembali. Bila kurang? Ya, hutang.
Padahal Allah telah berfirman, bahwa
dalam setiap harta kita (manusia) terdapat hak orang lain. Pada setiap harta
kita, bukan pada setiap kelebihan harta kita. Bapak Iwan Pontjowinoto, seorang
tokoh pasar modal syariah yang saat ini menjabat sebagai direktur utama PT
Jamsostek memberikan interpretasi lanjutan atas ayat itu. Pada dasarnya, setiap
pendapatan yang kita peroleh mengandung empat hak: pertama adalah Hak Allah
selalu wali dari fakir miskin yang harus ditunaikan pertama kali, yaitu dengan
mengeluarkan ziswaf atas pendapatan kita kepada fakir miskin. Jadi, ziswaf
tidak dikeluarkan dari kelebihan harta, namun dari setiap pendapatan yang kita
peroleh.
Hak kedua yang mesti ditunaikan adalah
hutang. Jika kita memiliki hutang kepada pihak lain, maka ia mesti mendapat
alokasi nomor dua dari total pendapatan kita untuk dibayar/dilunasi setelah hak
Allah. Sebab jika tidak, maka nyawa kita tergadai atas hutang itu. Dalam salah
satu hadis disebutkan bahwa seorang muslim yang meninggal dengan meninggalkan
hutang, maka nyawanya tergadai sampai dengan hutang itu dilunasi.
Hak ketiga adalah hak masa depan
keluarga kita. Allah lebih menyukai seorang muslim yang meninggalkan
keluarganya dalam kondisi tidak berkekurangan. Konsekuensinya, menabung untuk
masa depan menjadi sebuah kebutuhan yang harus dialokasikan dengan prioritas
ketiga setelah ziswaf dan pembayaran hutang. Baru selebihnya adalah hak masa
sekarang, yaitu biaya hidup sehari-hari. Dan biaya sehari-hari ini, besarnya
relatif, tergantung kepada sisa yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Dengan
paradigma seperti ini, maka rumus di atas akan berubah menjadi seperti ini:
Pendapatan – Zakat -- Angsuran Hutang (jika ada) --Tabungan = Pengeluaran
Di sinilah sesungguhnya kunci dari
perencanaan keuangan: Bagaimana kita mengatur pendapatan agar keempat hak itu
dapat dipenuhi secara adil, sesuai dengan proporsinya. Proporsi itu, tentu saja
akan sangat berbeda bagi masing-masing orang, namun barangkali rumus berikut
dapat digunakan.
Pertama, dari pendapatan kotor yang
ktia peroleh, alokasikan sejumlah tertentu untuk ziswaf. Kita semua sudah tahu,
minimal 2,5% kan? Lebih banyak akan lebih bagus, tapi sebaaiknya realistis,
jangan terlalu berlebihan juga.
Kedua, jika kita memiliki hutang atau
kewajiban lain, alokasikan juga jumlah yang sesuai dengan jumlah angsuran atau
kewajiban dimaksud. Jangan ditunda kecuali sangat sangat terpaksa. Oh ya, ada
dua prinsip dalam urusan hutang menghutang. Hutang/Kredit diperkenankan untuk
hal-hal yang bersifat investasi atau jangka panjang seperti rumah. Sedang
hutang barang konsumtif, sebaiknya dihindari. Jika sudah terlanjur memiliki
hutang kartu kredit misalnya, segera lunasi.
Ketiga, alokasikan sejumlah uang
tertentu untuk ditabung. Jika dapat, tabung sejumlah yang kira-kira dalam
jangka waktu tertentu akan memenuhi kebutuhan yang jatuh tempo atau kita
butuhkan pada waktu tertentu tersebut. Namun jika tidak, berapa pun jumlahnya,
yang penting ada jumlah minimal untuk ditabung. Upayakan pula jumlah minimal
tabungan kita jaga dalam batas yang dapat digunakan sebagai dana darurat jika
suatu saat kita mendadak butuh.
***
Apakah saya telah menjalankannya? Saya
tak berani menjawab ‘sudah!”. Yang dapat saya katakan hanya bahwa saya tengah
mencobanya. Setelah pelajaran berhemat yang saya peroleh dari suami, kini saya
mencoba memanage keuangan dengan lebih baik. “Mas, coba baca ini!” Kata saya
kepada suami sambil menunjukkan kertas yang berisi oret-oretan. Di sana,
terpampang angka-angka. ”Ini hitung-hitungan cash flow keluarga dan ini cash
flow kita masing-masing. Nah, dari gaji kita masing-masing harus langsung
dikurangkan ziswafnya. Terus, ini alokasi untuk keuangan rumah tangga. Nanti
masuk ke rekening A. Uang operasional dan tabungan pribadi Mas biarkan tetap di
rekening B. Uang Adek ada di rekening C. Terus untuk tabungan keluarga kita di
rekening D,” saya menjelaskan dengan panjang lebar sambil menunjukkan buku-buku
tabungan yang kami miliki. “Dan ini, buku tabungan haji kita. Kita akan
alokasikan sekian setiap bulan supaya tahun sekian kita sudah dapat naik haji.
InsyaAllah ya, Mas?”
Mas-ku mengangguk-angguk sambil meneliti
catatan dan buku-buku tabungan itu. Dengan disiplin tinggi dan revisi rutin,
cita-cita dan perencanaan yang kami buat akan dapat terpenuhi pada waktunya
nanti. Seperti membangun sebuah rumah, perencanaan keuangan itu seperti maket
yang siap direalisasi. InsyaAllah!
(@Azimah, 09/06/06)
Comments
Post a Comment