IKHTISAR SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT (1):
AKAL-BUDI DAN IMAN
Mider ing rat
saya nglangut
Lelana njajah
negari
Mubeng
tepining samodra
Sumengka
agraning wukir
Anelasak wana
wasa
Tumurun ing
jurang terbis
(Kinanti)
Yang dibahas disini terutama
filsafat Barat, karena misalnya filsafat India dan filsafat Cina lebih bersifat
mengajar bagaimana manusia mencapai "keselamatan"
("moksa"), atau bagaimana manusia harus bertindak supaya diperoleh
keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Tak dapat dipungkiri
didalamnya juga ada unsur akal, tetapi bukan produk dari refleksi yang sifatnya
kritis rasional.
Ada empat periode besar dalam filsafat Barat:
(A). Zaman Yunani (600 sM - 400
M)
(B). Zaman Patristik dan Skolastik (300 M - 1500
M)
(C). Zaman Modern (1500 M - 1800 M)
(D). Zaman sekarang (setelah 1800 M).
Patut dicatat bahwa tiap zaman
memiliki ciri dan nuansa refleksi yang berbeda. Dalam zaman Yunani diletakkan
sendi-sendi pertama rasionalitas Barat. Zaman Patristik dan Skolastik ditandai
oleh usaha yang gigih untuk mencari keselarasan antara iman dan akal, karena
iman di hati, dan akal ada di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia absurdum =
"aku percaya justru karena tidak masuk akal" Tertulianus, 160-223 M.
Dalam Zaman Modern direfleksikan
berbagai hal tentang rasio, manusia dan dunia.
Jejak pergumulan itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat dewasa ini.
1 Zaman Yunani
Is not the
good good because it contains the idea of the good?
Plato
1.1 Filsafat
pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu
("arche" = ). Tidakkah di balik
keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales
mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles:
api-udara-tanah-air. Herakleitos
mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu
berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak
berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam
bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah
yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal
oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan
metode reductio ad absurdum untuk meraih
kesimpulan yang benar.
1.2 Puncak zaman Yunani
dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348
sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
1.2.1 Sokrates menyumbangkan
teknik kebidanan (maieutika tekhne)
dalam berfilsafat. Bertolak dari
pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang
bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung
dalam batin orang itu. Dengan demikian
Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates
dibukukan oleh Plato, muridnya.
Hidup pada masa yang sama dengan
mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan
berpengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan
tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik
alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates
"menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota,
memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa
"memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke
pengadilan kota
Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500
orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya
dengan meninggalkan kota
Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di
hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
1.2.2 Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas
sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang
kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia
idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan
keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda
yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah
dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung,
... kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.
Plato ada pada pendapat, bahwa
pengalaman hanya merupakan ingatan
(bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya
telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon
sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa
melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal
intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu
memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan,
kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan
yang sifatnya rasional-deduktif
sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap
oleh Plato adalah keterlemparan jiwa
manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being")
dan mengada (menjadi,
"becoming").
1.2.3 Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah
menjungkir-balikkan segalanya. Dia
setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar
dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga
setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah
konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda.
Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari
ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles,
idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini
merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang
kita pikirkan dengan akal kita,
sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita.
Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang
masuk dalam kesadarannya oleh
pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri
khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran
manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles,
pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada
dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran
baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat
konklusi yang berupa pernyataan
ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi
penting dalam logika, yaitu cabang
filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata logikoz, dan logoz
berarti sesuatu yang diutarakan.
Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang
dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif
pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis
untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.
Aristoteles mengandalkan
pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang
sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak
dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara
terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari
bentuk ("morphe") yang sama.
Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang
bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis",
Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam
setiap individu dengan cara berbeda-beda.
Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides
diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang
"tetap" dan yang "berubah".
Dalam konteks ini dapat
dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria
yang belum lengkap". Dalam
reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan
produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap
dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan
menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria
menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan
"substansi".
Dalam makluk hidup (tumbuhan,
binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche",
Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia
memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati"
dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam
dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan
"nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang
membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz". Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Pemikiran Aristoteles
merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat
kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya
yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang
menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan
rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar
Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar
dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya.
Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani)
menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan
kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga.
-- (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut jika
pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini.
Legitimasi filsafati agaknya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yang
umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa abad pertengahan dan dimana saja.
Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun
landasan biblisnya sama sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam
Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)
Aristoteles menempatkan filsafat
dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang
penalaran, berperan sebagai organon
("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk
selanjutnya diolah dalam theoria yang
membawa kepada praxis.
Aristoteles mengawali, atau
sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu
empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang
merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia
dan Opticks
(dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin),
Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing
merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang
tersedia dalam zamannya masing-masing.
1.3 Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran
pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme
(Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia
bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika:
"kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki
kita".
Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato)
disebut oleh Plotinos to en = "to
hen", yang esa, "the one".
Yang esa adalah awal, yang pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan
yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal
oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun
juga. Yang esa adalah pusat daya, --
seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang esa tak
berkurang atau terpengaruh sama sekali.
Dari to en mengalir nouz =
"nous", budi, akal, bahkan roh (?).
"Nous" merupakan "bayang-bayang" dari "to
hen". Dari "nous"
mengalir ynch = "psykhe",
jiwa, yang merupakan perbatasan "nous" dengan mh ou = "me on", materi, yang merupakan kemungkinan
atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. "Psykhe" merupakan penghubung
antara "nous" yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap,
yang rohani berlawanan dengan yang jasmani.
-- Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari
kebenaran. Untuk mencapai kebenaran,
manusia harus kembali kepada "to hen", dan itulah tujuan hidup
manusia. "To hen" kiranya
identik dengan konsep "Sang Sangkan Paraning Dumadi" dalam tradisi
Jawa.
Kesatuan mistis dengan "to
hen" merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi untuk
mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat besar bagi
pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berakhir
kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada
terang (serta awal dari kekekalan).
Jejak pemikiran neoplatonisme
dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan
atau "jiwa kosmik". Banyak
agama menekankan keterpisahan antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik
tidak menemui pemisahan seperti itu.
Mereka jutru mengalami rasa "penyatuan dengan Tuhan". Ketika
penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia "kehilangan dirinya", dia
lenyap ke dalam diri Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik
atau sepercik air kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.
Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik
harus mencari jalan "pencucian dan pencerahan" untuk bisa bertemu
dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan berbagai teknik meditasi.
Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama besar di dunia. Dalam
"agama" Jawa dikenallah konsep "manunggaling kawula lan
Gusti", yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi
generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan oleh
Zoetmulder. (Zoetmulder SJ almarhum adalah Guru Besar di Fakultas Sastra UGM).
2 Zaman Patristik (Para
Bapa Gereja)
Segala
tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat
untuk mengajar,
untuk
menyatakan kesalahan,
untuk
memperbaiki kelakuan, dan
untuk
mendidik orang dalam kebenaran.
Dengan
demikian tiap-tiap manusia kepunyaaan Allah
diperlengkapi
untuk setiap perbuatan baik.
2 Tim 3:16-17
Pemikiran filsafati para Bapa
Gereja Katolik mengandung unsur neo-platonisme.
Para Bapa Gereja berusaha keras untuk menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan
akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan cara itu membuat
pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok
bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya
dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh
Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang
("lumens") dari Allah.
Meskipun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran
(yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak
kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia
merupakan jejak Allah yang istimewa = "imago Dei" (citra Allah),
dalam arti itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan cara lebih
jelas dari pada segala ciptaan lainnya.
"Tuhan, engkau lebih tinggi
daripada yang paling tinggi dalam diriku, dan lebih dalam daripada yang paling
dalam dalam batinku" -- itu
ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai transendensi dan
imanensi Allah dalam satu rumusan. Dalam
zaman ini pokok-pokok iman Kristiani dinyatakan dalam syahadat iman rasuli (teks "Aku Percaya" yang panjang).
Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas
-- tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada waktu itu dan dengan
bahan dari Alkitab.
Agustinus menerima penafsiran
metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang menyatakan bahwa alam semesta
dicipta creatio ex nihilo dalam 6
hari, dan pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu baik
adanya. "Allah tidak ingin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak
relevan bagi keselamatan mereka". Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam
waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan dunia. Penciptaan adalah tindakan
tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu menjadi ada, dan tindakan kontinu
yang melaluinya Allah memelihara dunia.
Istilah ex nihilo tidak
berarti bahwa tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dibuat dari
perunggu, namun hanya berarti "tidak terjadi dari sesuatu yang sudah
ada". Hakikat alam ciptaan ialah
menerima seluruh Adanya dari yang
lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan
adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.
Disini tidak disinggung
persoalan, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi pada suatu
ketika atau sudah ada sejak zaman kelanggengan.
Para ahli filsafat pada umumnya
sependapat bahwa a priori kita tidak dapat memastikan mana yang terjadi. --
Menciptakan, sebagai tindakan aktif, dipandang dari sudut Tuhan, merupakan
cetusan kehendakNya yang bersifat langgeng, karena segala sesuatu dalam Tuhan
adalah langgeng. Tetapi dipandang dari
sudut ciptaan, secara pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu dapat
terjadi dalam arus waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan. Jadi kelirulah jika dibayangkan bahwa Tuhan
suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka
buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia
terus menerus tergantung pada Tuhan (creatio
dan sekaligus conservatio).
Ketika ditanya mengenai apa yang
dilakukan Allah sebelum menciptakan dunia, Agustinus menjawab tidak ada artinya
bertanya mengenai itu, karena tidak ada waktu sebelum penciptaan tersebut.
3 Zaman Skolastik
Egoo eimi ho
oon.
Sum qui sum.
I am who I
am.
Aku adalah
Aku.
(Keluaran 3:14)
Saya membagi zaman skolastik
dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang diwarnai situasi dalam
komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M, dan (2) zaman skolastik
barat, abad 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa (termasuk
jazirah Spanyol).
Secara sederhana, dalam zaman
Patristik, "filsafat teologi", dengan
tanda dapat dibaca sebagai
"identik dengan", "sama sebangun dengan", "praktis
tidak berbeda dengan". Sementara
dalam periode skolastik timur, terdapat berbagai interpretasi atas simbul dalam rumusan
"filsafat teologi", dalam
periode skolastik barat tidak ada keraguan tentang makna simbul dalam rumusan "filsafat teologi".
3.1. Periode skolastik timur
Abad ke-5 s/d abad ke-9 Eropa
penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran
filsafati praktis tidak ada. Sebaliknya
di Timur Tengah. Sejak hadirnya agama
Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada perhatian besar
kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada awal abad 8
krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam untuk
menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin
muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal
pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.
(1) Mashab
Mu'tazila (725 - 850 - 1025 M)
meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan
(selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat
dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu
membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus
mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari
perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan
antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan ini cocok dengan Al Qur'an (Surah 3
ayat 110): "amr bil-a'ruf wa'l nahy an'al-munkar".
Mashab Mu'tazila ada pada
pendapat bahwa Al Qur'an tercipta, artinya "dirumuskan oleh manusia,
dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus". Maka para Mu'tazila membaca Al Qur'an dengan
kacamata rasionalis.
(2) Mashab
falsafah pertama (830 - 1037 M), berhaluan neoplatonis dan
aristoteles. Kata "falsafah"
dipakai untuk mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, ahli
fikirnya disebut "faylasuf" ("falasifa - jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), al-Razi
(865 - 925 M), al-Farabi (872 - 950 M)
dan Ibn-Sina (980 - 1037 M). Menggumuli masalah klasik "perbedaan
antara dhat dan wujud" ("distinctio realis inter essentiam et
existentiam"). Mereka ada pada pendapat, bahwa akal adalah pendamping iman. Al-Razi menolak ijazu'l
Qur'an. Tulis al-Razi: "Tuhan
memberi kepada manusia akal sebagai anugerah terbesar. Dengan akal kita mengetahui segala apa yang
bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki hidup kita. Berkat akal itu kita mengetahui hal yang tersembunyi
dan apa yang akan terjadi. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi
manusia. Akal itu menghakimi
segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal
semata-mata".
(3) Mashab pemikiran ketiga disebut pula Kalam Ashari, berpusat di Bagdad, dan bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama
kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan soal sebab-musabab,
kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para tokohnya: al-Ash'ari (873-935 M), al-Baqillani
(?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M).
Pandangan yang bercorak atomistis
berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain
daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat
dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan
al-Khaliq, "tiada yang tersembunyi daripadaNya seberat dharahpun"
(Al-Qur'an Surat 34 ayat 3). Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus
atom-atom, tanpa ada hubungan kausal. "Kami menyangkal bahwa makan dan
minum menyebabkan kenyang". Yang ada hanya monokausalitas mutlak
illahi. Apabila tampak sesuatu akibat
dari suatu tindakan, maka itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal
itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi
setiap kegiatan insani. Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu
hanya semua saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam
suntuk. "Bila manusia bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai
rahmatNya; bila dia berbuat jahat itu dikehendaki Allah sesuai
keadilanNya".
Dalam "Al-Tahafut
al-filasifah" al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20
dalil dan membuat kajian dan bantahan
yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu melalui
sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia. Secara
singkat "al-aql laysa lahu fi'l-shar' majal" -- untuk akal tiada
tempat dalam agama.
(4) Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur
Tengah, di kawasan yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika
barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol
sekarang) berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan
filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn
Tufail (? - 1185), dan Ibn Rushd ("Averroes") (1126-1198 M) merupakan
3 filsuf utama dalam perioda Filsafat
Kedua (1100 - 1195 M) ini.
Ciri para filsuf ini pada umumnya
menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas
seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan
kenyataan rohani sampai akhir hayat.
Akal adalah hal yang paling berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada
abdiNya yang setia.
Ibn Tufayl terkenal oleh buku
roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY
IBN YAQZAN fi asrar al -himah al-mashiriyyah.
Ibn Rushd dikenal oleh 3 kelompok
karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya
filsafat di kawasan timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari
ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya
bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan
sebabnya. Kita menanggapi hubungan
sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai nyata dengan
akal. Dengan akibat atau setiap
perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab
tercipta (wasa'ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional,
tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah.
Itu bertentangan dengan akal sehat dan menentang wahyu Qur'an, yang
melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang maha bijaksana.
Karya apologetisnya (2 buku yang
ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam Islam, baik
sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi. Rushd melihat filsafat sebagai "sahabat
al-shari'at w'ahat al-ruzdat", teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur'an, agar
manusia dapat memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain Surah 3 ayat 188,
Surah 6 ayat 78, Surah 7 ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah 88 ayat 17)
. Bila studi hukum (fiqh) tidak disertai
studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.
Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf
dari Cordova itu terhadap alam pikiran Islam selanjutnya mungkin tidak
seberapa, dia bahkan dikatakan hanya mewariskan "sekeranjang buku seberat
sosok mayatnya". Tetapi naskahnya
populer di Eropa, khususnya di lingkungan kampus Universitas Paris, dan
menyebar dari sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang dijuluki "Sang
Filsuf" diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rushd yang oleh karena
itu mendapat julukan "Sang Komentator". Sebagai akibatnya, obor perenungan filsafati
Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf
muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para
filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia.
Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim dalam khazanah perenungan
tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di
sekelilingnya.
3.2 Perioda skolastik Barat
Awal abad 13 ditandai dengan 3
hal penting: (1) berdirinya universitas-universitas, (2) munculnya ordo-ordo
kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan), dan (3) diketemukannya filsafat
Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari dan dikritik dan diteliti
dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225 - 1274 M). Tema filsafat perioda ini adalah hubungan
akal budi dan iman, adanya dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik.
Otonomi filsafat yang bertumpu
pada akal, yang merupakan salah satu kodrat manusia, dipertahankan. Menurut Thomas Aquinas, akal memampukan
manusia mengenali kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu
adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu
teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam arti ketat
(misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Karena itu teologi memerlukan iman, karena
hanya dapat dijelaskan dan diterima dalam iman.
Dengan iman yang merupakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa
Allah, manusia mampu mencapai pengetahuan yang mengatasi akal. Meski misteri ini mengatasi akal, ia tidak
bertentangan dengan akal. Meski akal
tidak dapat menemukan (menguak) misteri, akal dapat meratakan jalan menuju
misteri ("prae-ambulum fidei").
Dengan ini Thomas Aquinas
menegaskan adanya dua pengetahuan yang tidak perlu bertentangan, atau
dipertentangkan, tetapi berdiri sendiri berdampingan: pengetahuan alamiah (yang
berpangkal pada akal budi) dan pengetahuan iman (yang bersumber pada kitab suci
dan tradisi keagamaan). Adalah Wihelm Dilthey (1839-1911) yang akhirnya
membedakan dengan tegas "Geisteswissenschaften" = "human
sciences" dari "Naturwisensshaften" = "natural
sciences", sementara Max Weber membedakan "erklaeren" sebagai
ciri-ciri ilmu alam dari "verstehen" yang merupakan ciri khas
ilmu-ilmu kemanusiaan.
Comments
Post a Comment