Who i am ?
Menemukan
pertanyaan tersebut dari buku Pengantar
filsafat ilmu karya Jujun
Suriasumantri di awal-awal tulisannya, kemudian hal yang sama saya temukan
dari buku bernuansa novel berbau filsafat , Dunia
Sophie. Pertanyaan siapa saya ? (Who i m ?) kemudian agak lebih jelas di
kemukakan oleh Fazlur Rahman dalam membedah Filsafat Shadra.
Dalam
islam kita sering mendengar “jika ingin mengenal Tuhan, maka kenalilah diri
sendiri” makna yang sama akan ditemukan dalam ungkapan kira-kira “ barang siapa
yang sungguh-sungguh ingin mencari/mengenal Tuhannya maka Kami akan menunjukan
jalanNya”. Ungkapan yang bagi saya lebih dari sekedar nasehat tetapi bermakna
besar dalam pemikiran filsafat bahwa akhirnya pengenalan diri yang sungguh –
sungguh akan membawa kita kepada Tuhan yang sebenarnya. Masalahnya adalah
siapakah diri ini ? siapa kah aku ?
Aku
atau keberadaanku menjadi aneh sebenarnya jika menjadi pokok pembahasan yang
harus dipikirkan karena itu hanyalah pertanyaan yang biasa, tetapi apakah benar
hanya pertanyaan biasa ? padahal inilah titik tolak filsafat itu ? iya
pengenalan diri sendiri. Atau pertanyaan yang agak mirip adalah yang manakah
saya ? kita dengan tenang dan biasa aja akan menyikapi ini dengan menjawab
inilah saya sembari menunjuk diri kita yang ini. Padahal yang ditunjuk adalah
“tubuh saya” bukan esensi ke – aku- an.
Plato
memulai menjawab ini dengan mangatakan bahwa saya adalah hasil dari ide, jadi
saya hanyalah perwujudan dari pemikiran ide. Sebuah ide absolut di luar sana ,
entah dimana sedang berpikir tentang kita kemudian jadilah kita, jadilah “saya”
yang ini, saya yang sedang mengetik tulisan ini, saya yang membaca tulisan ini.
Sekilas mirip dengan konsep “kun fayakun”
yang biasa kita kenal dalam islam yang merupaka perwujudan iradat Allah SWT.
Konsepsi Plato yang kemudian bagi saya menilhami Hegel untuk menyatakan konsep
dialektika idealisme nya, kira-kira tafsir tentang “saya” nya Hegel adalah
“Saya merupakan perwujudan dari ide itu sendiri” [1].
Konsep
idealisme tersebut terkesan ganjil bagi kaum Materialisme[2]. Karena,
ide adalah eksistensi sekunder yang “ada” setelah “saya” sendiri ada terlebih
dulu ada.[3] Jadi
jelas saya adalah kesatuan fisik yang terdiri dari tubuh lengkap dengan
fungsi-fungsinya sendiri, sedangkan ide hanyalah hasil dari kerja otak yang
berpikir karena sel-sel syarafnya bekerja dengan baik. Aristoteles tampaknya
memberikan penjelasan yang baik sebagai solusi dari masalah ini. Bagi
Aristoteles aku adalah kesatuan antara ide dengan materi/fisik, baginya apalah
guna ide jika tanpa fisik, ide tidak akan ada jika fisik tidak ada begitu juga
sebaliknya, jadi bagi Aristoteles , ke –Aku-an bukanlah keterpisahan antara ide
dengan materi tetapi kesatuan keduanya.
Tetapi
aku adalah mahluk yang terbatas, yang tak berdaya sehingga dalam idenya muncul
ide tentang kesempuranaan, tentang ketakterbatasan. Saya mengasosiasikan sifat
manusia yang tak pernah puas merupakan perwujudan dari ide tentang
ketakterbatasan. Sehingga kemudian muncul kalimat “materi adalah fana” iya
materi yang terbatas ini akan takluk oleh perubahan dan selalau bergerak
kemudian muncul ide tentang yang tetap yang tidak bergerak[4]
To
be continue....
[1]
Bandingkan konsep plato dengan G.W.F Hegel tentang idealisme. Plato menganggap
materi atau saya adalah perwujudan pemikiran ide tetapi Hegel mengatakan bahwa
saya/materi adalah perwujudan itu sendiri sehingga bagi Hegel sejarah dunia
adalah sejarah perwujudan ide yang dia menyebutnya dengan roh (geist)
[2]Banyak
orang mengasosiasikan materialisme dengan Karl Marx atau marxisme, tetapi bagi
saya Marx hanyalah pemikir ekonomi dan sosial bukan pencetus materialisme,
justru dari L. Feurbach lah materialisme muncul
[3]Disini
sebenarnya timbuk pembahasan baru tentang konsep “ada” itu sendiri. Pertanyaan
yang muncul adalah apakah “ada” itu sendiri ? tentu ini wilayah ontologi dalam
filsafat.
[4]Aristoteles
menyebutnya Causa prima, hal yang sama akan ditemukan dalam summa theologie nya
Thomas aquinas. Sebenarnya saya Cuma menjelaskan konsep theologie nya Imanuel
Kant tentang pembuktian Tuhan secara Kritisme, setidaknya kant sendiri yang
bilang kata “kritisme”
Comments
Post a Comment