Bagi Socrates,
filosofi bukanlah isi, bukan hasil, dan bukan juga ajaran yang berdasarkan
dogma yang tidak bisa dibantah, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya
mencari kebenaran, dia tidak mengajarkan, melainkan membantu mengeluarkan apa
yang tersimpan di dalam jiwa orang. Oleh karena itu, metodenya disebut
maieutik; menguraikan. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan hobinya,
yakni selalu bertanya. Dia bertanya sana-sini, kemudian dipahaminya dengan baik
apa yang telah dia pertanyakan. Maka jalan yang ditempuhnya dengan metode
induksi dan definisi. Induksi menjadi dasar definisi. Induksi yang dimaksud
socrates adalah dengan membandingkan secara kritis. Tentu yang dibandingkan
adalah hasil dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dia kumpulkan. Menurut
Socrates, orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Apabila
budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka jahatnya dari orang
yang tidak mengetahui karena tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang
benar. Namun jika kita melihat pada era sekarang, ternyata tidak hanya yang
tidak tahu saja yang jahat, yang tahu pun bisa lebih jahat dari yang tidak tahu
karena mereka bisa memanipulasi dan mencari-cari celah dari apa yang telah dia
ketahui. Justru kejahatan dari orang-orang yang berpengetahuan inilah yang
lebih berbahaya.
Menurut pendapat
Socrates ada kebenaran obyektif, yang tidak bergantung pada saya atau pada
kita. Ini memang pusat permasalahan yang dihadapi oleh Socrates. Untuk
membuktikan adanya kebenaran obyektif, Socrates menggunakan metode tertentu.
Metode itu bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan – percakapan. Dia
menganalisis pendapat-pendapat. Setiap orang mempunyai pendapat mengenai salah
dan tidak salah, misalnya dia bertanya kepada negarawan, hakim, tukang,
pedagang, dsb.
Menurut
Xenophon, dia bertanya tentang salah dan tidak salah, adil dan tidak adil,
berani dan pengecut dll. Socrates selalu menganggap jawaban pertama sebagai
hipotesis, dan dengan jawaban -jawaban lebih lanjut dan menarik
kensekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban-jawaban tersebut.
Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena menghasilkan
konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain,
lalu hipotesis kedua ini diselidiki dengan jawaban-jawaban lain, dan begitulah
seterusnya. Sering terjadi percakapan itu berakhir dengan aporia ( kebingungan
). Akan tetapi, tidak jarang dialog itu menghasilkan suatu definisi yang
dianggap berguna. Metode yang biasa digunakan Socrates biasanya disebut
dialektika yang berarti bercakap- cakap atau berdialog. Metode Socrates
dinamakan “diaelektika” karena dialog mempunyai peranan penting
didalamnya. Bagi Socrates pada waktu itu penemuan definisi bukanlah hal yang
kecil maknanya, penemuan inilah yang akan dihantamkannya kepada relatifisme
kaum sofis.
Orang sofis
beranggapan bahwa semua pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada
pengetahuan yang bersifat umum. Dengan definisi itu Socrates dapat membuktikan
kepada orang sofis bahwa pengatahuan yang umum ada, yaitu definisi itu. Jadi,
orang sofis tidak seluruhnya benar, yang benar ialah sebagian pengetahuan
bersifat umum dan sebagian bersifat khusus, yang khusus itulah pengetahuan yang
kebenaranya relatif. Socrates mengungkapkan bahwa memang ada pengetahuan yang
umum, itulah definisi.
Dengan mengajukan
definisi itu Socrates telah dapat menghentikan laju dominasi relatifisme kaum
sofis. Jadi, kita bukan hidup tanpa pegangan, kebenaran sains dan agama dapat
dipegang bersama sebagainya, diperselisihkan sebagainya. Dan orang Athena mulai
kembali memegang kaidah sains dan kaidah agama mereka.
Konsepnya
tentang roh, terkenal tidak tentu ( indeterminate ) dan berpandangan terbuka (
openminded ), jelas- jelas tidak agamis dan terlihat tidak mengandalkan
doktrin-doktrin metafisik atau teologis. Juga tidak melibatkan
komitmen-komitmen naturalistik atau fisik apapun, seperti pandangan tradisional
bahwa roh adalah “ nafas “ yang menghidupkan. Sebenarnya juga tidak jelas bahwa
ia sedang mencari kesepakatan bagi pendapatnya bahwa telah mengetahui dirinya
sendiri. Oleh sebab itu haruslah dia mengenal dirinya lebih dulu. Maka
dijadikanlah diri manusia oleh Socrates jadi sasaran filsafat, dengan
mempelajari substan dan sifat – sifat diri itu. Dengan demikian menurut
Socrates filsafat hendaklah berdasarkan kemanusiaan, atau dengan lain
perkataan, hendaklah berdasarkan akhlak dan budi pekerti.
Socrates diakhir
– akhir hidupnya banyak memperkatakan tentang akhirat dan hidup yang abadi
kelak dibelakang hari. Dia mempercayai adanya akhirat, dan hidup yang abadi
dibelakang hari itu, begitu juga tentang kekalnya roh. Socrates berpendapat
bahwa roh itu telah ada sebelum manusia, dalam keadaan yang tidak kita ketahui.
Kendatipun roh itu telah bertali dengan tubuh manusia, tetapi diwaktu manusia
itu mati, roh itu kembali kepada asalnya semula. Sedangkan tentang mengenal
diri Socrates menjadikan pedoman seperti pada pepatah yang berbunyi : “
kenalilah dirimu dengan dirimu sendiri ” ( Gnothisauton ). Pepatah ini
dijadikan oleh Socrates jadi pokok filsafatnya. Socrates berkata : manusia
hendaknya mengenaldiri dengan dirinya sendiri, jangan membahas yang diluar
diri, hanya kembalilah kepada diri. Manusia selama ini mencari pengetahuan
diluar diri. Kadang – kadang dicarinya pengetahuan itu didalam bumi, kadang –
kadang diatas langit, kadang – kadang didalam air, kadang – kadang diudara.
Alangkah baiknya kalau kita mencari pengetahuan itu pada diri sendiri. Dia
memang tidak mengetahui dirinya, maka seharusnya dirinya itulah yang lebih
dahulu dipelajarinya, nanti kalau dia telah selesai dari mempelajari dirinya,
barulah dia berkisar mempelajari yang lain. Dan dia tidak akan selesai selama –
lamanya dari mempelajari dirinya. Karena pada dirinya itu akan didapatnya
segala sesuatu, dalam dirinya itu tersimpul alam yang luas ini.
Menurut filsafat
Socrates segala sesuatu kejadian yang terjadi di alam adalah karena adanya “
akal yang mengatur ” yang tidak lalai dan tidak tidur. Akal yang mengatur itu
adalah Tuhan yang pemurah. Dia bukan benda, hanya wujud yang rohani semata –
mata. Pendapat Socrates tentang Tuhan lebih dekat kepada akidah tauhid. Dia
menasehatkan supaya orang menjaga perintah – perintah agama, jangan menyembah
berhala dan mempersekutukan Tuhan.
Tujuan filosofis Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku
untuk selama-lamanya. Di sini berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis,
yang mengajarkan bahwa semuanya relative dan subyektif dan harus dihadapi
dengan pendirian yang skeptis. Socrates berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap
dan harus dicari.
Dalam mencari kebenaran itu, ia tidak mencari sendiri, melainkan
setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan Tanya jawab. Orang ke dua
itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak
bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan berdialog
itu sendiri. Dia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang
tersimpan di dalam jiwa orang itu.
Comments
Post a Comment