Wilayah timur tengah menjadi lahan
konflik karena negara – negara di wilayah itu merupakan negara negara yang kaya
minyak bumi, maka analisa yang mendasar adalah konflik yang terjadi di wilayah
ini adalah karena semata mata perebutan minyak bumi. Iya karena memang tidak
ada alasan lain, mengingat tanpa mengecilkan potensi di timur tengah minyak
bumi adalah satu satunya harta yang berharga di wilayah ini, sumber ekonomi
potensial lainnya hampir di pastikan tidak begitu berarti.
Menariknya kenapa mesti Yaman ? Yaman
adalah negara paling miskin di kawasan arab bahkan salah satu di dunia karena
maraknya praktek korupsi dan minimnya cadangan minyak yang dimiliki di perburuk
dengan menjadi salah satu negara yang di penuhi konflik, seperti pada umumnya
konflik di timur tengah yang paling efektif adalah isu sekretarian, tentang
mahzab sunni vs syiah , persia vs arab, etnis kurdi dan lain sebagainya yang
sejenis dengan itu. [1]
Sehingga sebenarnya tidak ada motif ekonomi dalam konflik ini terlepas siapapun
yang terlibat atau atas konspirasi apapun.
Jika tidak ada motif ekonomi, analisa
menjadi bergeser ke motif politik, kemudian apa keuntungan politik yang di
dapat dari kisruh konflik yang sebenarnya berawal dari konflik internal dalam
negeri Yaman ?
Demografi Konflik Sekretarian Yaman
Seperti yang sudah dinyatakan
sebelumnya konflik Yaman adalah konflik sekretarian antara mahzab sunni dengan
syiah. Demografi warga negara Yaman pasca
bersatunya Yaman utara dan selatan tahun 1990, senantiasa menyaksikan krisis
dan perang saudara. Para penduduk Yaman selatan yang ingin merdeka, aktivitas
kelompok Al-Qaeda dan konflik bersenjata di Provinsi Saadah dengan pemerintah
Yaman termasuk ketegangan yang dihadapi pemerintah Ali Abdul Saleh, Presiden
Yaman selama beberapa tahun terakhir[2]
Sekitar 42 persen dari
populasi penduduk Yaman bermazhab Syiah dan dari kelompok ini dibagi menjadi
tiga kategori; Zaidiah yang mayoritas, Ismailiah dan Itsna ‘Asyari (12 Imam).
Mayoritas penduduk 20 juta negeri Yaman bermazhab Ahli Sunnah dan setelah itu
adalah pemeluk mazhab Syiah Zaidiah.
Mencermati kondisi
kehidupan orang-orang Syiah Yaman dapat memperjelas satu masalah betapa
sepanjang kekuasaan pemerintah Yaman, mereka senantiasa menghadapi berbagai
masalah. Orang-orang Syiah Yaman tidak diberi hak untuk mendirikan
sekolah-sekolah agama khusus Syiah. Mereka kerap disiksa dan dijebloskan ke
penjara, tidak hanya orang biasa tapi juga para ulama. Mereka dilarang untuk
menyelenggarakan peraan khas Syiah seperti Idul Ghadir. Dan secara
terang-terangan pemerintah membakar buku-buku Nahjul Balaghah dan Shahifah
Sajjadiah. Semua ini hanya sebagian perlakuan diskriminatif yang diterapkan
pemerintah terhadap mereka.
Sebuah kondisi
demografi yang sangat tepat untuk konflik sekretarian...
Momentum Kebangkitan Kelompok Syiah Houthi
Agustus 2014, pimpinan Huthi, Abdulmalek al Houthi
yang didukung ribuan demonstran yang turun ke jalanan menuntut pemerintah Yaman
yang dipimpin presiden Abedrabbo Mansour Hadi membatalkan pencabutan subsidi
BBM yang diumumkan sebulan sebelumnya[3]
Sejatinya
kelompok ini memrotes aksi-aksi pemerintah yang ingin membatasi kelompok ini
agar beraktivitas di bidang agama, politik dan upaya untuk memusnahkan budaya
dan keyakinan Zaidiah dan kebijakan diskriminatif pemerintah dalam membangun
Saadah.
Kelompok
ini menganut fajam Syiah Saidismus yang sudah mengakar di kawasan itu sejak
1000 tahun. Gerakan pendidikan dan kebudayaan itu berubah menjadi gerakan
bersenjata, setelah pendirinya Hussein al Huothi terbunuh oleh serdadu yang dikirimkan
presiden Ali Abdullah Saleeh pada tahun 2004. Ketika itu kaum Huthi mendukung
aksi protes terhadap presiden Saleh di sebuah mesjid di Sanaa. Kaum Huthi juga
berperan besar dalam gerakan yang menumbangkan presiden Saleh pada 2011. Para
analis politik dari Amerika menyebutkan, sebetulnya kaum Huthi hanya menuntut
pembagian kekuasaan lebih besar dalam pemerintahan nasional. Juga kelompok
Syiah ini ingin menggolkan tuntutannya bagi otonomi luas kawasan Saadah di
utara Yaman. Tapi sejarah menunjukkan, sikap ngotot presiden Mansour Hadi yang
didukung kaum Sunni di Arab Saudi memicu perang sektarian di Yaman. Kini
pemberontak Huthi praktis seudah menguasai seluruh Yaman yang dalam keadaan
vakum kekuasaan ditinggal kabur presidennya untuk meminta perlindungan ke Arab
Saudi.
Konflik Yaman dan Kepentingan Amerika
Serikat
Inilah
jawaban dari pertanyaan mengapa konflik harus di Timur Tengah dan mesti Yaman ?
Dengan kondisi demografi konflik politik Yaman sangat potensial bagi Amerika
Serikat untuk memanfaatkan konflik ini demi kepentingannya[4].
Seperti
diketahui bersama Amerika Serikat bersama sekutunya[5]
sedang berperang dengan Iran yang menjadi musuh bebuyutannya masa kini. Lalu,
mengapa tidak terjadi perang fisik antar kedua negara ? kenapa Amerika Serikat
tidak secara langsung menyerang Iran dan sebaliknya ? Amerika Serikat bahkan di
yakini menggunakan isu pengembangan nuklir Iran untuk melemahkan Iran sampai ke
tahap internasional melalui PBB.
Bila
memakai kalkulasi hard power, harus
diakui bahwa sebenarnya kekuatan Iran masih jauh di bawah AS. Apalagi, doktrin
militer Iran adalah defensive
(bertahan, tidak bertujuan menginvasi negara lain). Iran hanya menganggarkan
1,8% dari pendapatan kotor nasional (GDP)-nya untuk militer (atau sebesar 7-9 M
dollar). Sebaliknya, AS adalah negara dengan anggaran militer terbesar di
dunia, yaitu 4,7% dari GDP atau sebesar 687 M dollar. Bahkan, AS telah
membangun pangkalan-pangkalan militer di berbagai wilayah di sekitar Iran. AS
adalah pelindung penuh Israel dan penyuplai utama dana dan senjata untuk
militer Israel. Budget militer Israel sendiri, pertahunnya mencapai 15 M Dollar
(dua kali lipat Iran).
AS
sebenarnya tidak berkepentingan menyerang Iran. Tetapi, Israel berkali-kali
meminta AS untuk menyerang Iran dengan alasan “Iran memiliki nuklir yang
mengancam keselamatan Israel.” Ketika rezim Obama enggan menuruti permintaan
Israel, Israel bahkan mengancam akan menyerang Iran sendirian, tanpa bantuan AS.
Untuk menyerang Iran, Israel harus mengerahkan seperempat pasukan
udaranya dan semua pesawat tempurnya, sehingga tidak ada pesawat cadangan untuk
berjaga-jaga. Pesawat-pesawat tempur itu harus melewati perbatasan Syria-Turki
sebelum terbang di atas udara Irak and Iran. Dan wilayah-wilayah tersebut,
sangat rawan bagi Israel. Dan bahkan jika pesawat tempur Israel berhasil
mengebom reaktor nuklir Iran, pembalasan yang dilakukan Iran akan membawa
dampak yang sangat buruk bagi kawasan Timur Tengah.
Karena itu, bila Israel berkeras ingin menyerang Iran, Israel
harus menggandeng AS. Tapi, bila AS menyetujui permintaan Israel ini, AS harus
mengerahkan ratusan pesawat dan kapal tempur. Serangan awal saja sudah
membutuhkan alokasi kekuatan yang sangat besar, termasuk pengebom utama, upaya
penghancuran system pertahanan udara lawan, pesawat-pesawat pendamping
untuk melindungi pesawat pengebom, peralatan perang elektronik, patrol udara
untuk menahan serangan balasan dari Iran, dll. Pada saat yang sama, AS harus
menghalangi Iran agar tidak melakukan aksi apapun di Selat Hormuz. Bila Iran
sampai berhasil memblokir Selat Hormuz, suplai minyak dan gas dunia akan
terhambat dan efeknya akan sangat buruk bagi perekonomian dunia. Dan ini bukan
pekerjaan mudah. Iran selama ini justru sangat memperkuat kemampuan militernya
demi mengontrol Selat Hormuz bila terjadi perang. Meskipun, AS juga sudah
mempersiapkan banyak hal untuk menjaga agar Hormuz tetap terbuka, antara lain
dengan menempatkan berbagai perlengkapan militer di Bahrain, Saudi Arabia,
Qatar, Kuwait, dan UAE. Namun inipun mengandung ancaman lain. Iran berkali-kali
mengancam, bila wilayahnya diserang, Iran akan melakukan serangan balasan ke
semua negara Arab yang di dalamnya ada pangkalan militer AS. Belum lagi, Rusia
dan China diperkirakan akan ikut campur demi mengamankan kepentingan mereka
sendiri di Timteng. Tak heran bila banyak analis mengungkapkan ramalan bahwa
Perang Dunia III akan meletus bila AS sampai menyerang Iran.
Lihatlah situasinya: bila Israel dan AS menyerang Iran, artinya
mereka keluar dari wilayah mereka sendiri dan harus bersusah-payah mengusung
semua perlengkapan militernya. Lalu, urusan tidak selesai hanya dengan
menjatuhkan bom ke situs nuklir Iran. Serangan balik dari Iran, dan posisi
geostrategis Iran, sangat memberikan potensi kekalahan bagi AS dan Israel.
Dari sinilah pentingnya konflik atau konflik yang sengaja di buat
di Yaman menjadi sangat penting. Isu sekretarian membuat Iran harus membantu
kelompok Houthi karena Iran negara yang bermahzab Syiah mustahil rasanya jika meninggalkan
saudara Syiahnya di Yaman sendirian. Disisi lain Arab saudi yang bermahzhab
Wahabi sangat jelas bermusuhan dengan syiah akan mendukung Yaman.
Dengan demikian sebenarnya Amerika Serikat akan berupaya supaya
Iran menyibukkan diri dengan membantu Houthi dan banyak energi yang terkuras
disitu sambil memainkan isu ISIS kemudian. Amerika Serikat tidak perlu menggunakan
anggaran biaya perangnya yang besar untuk melemahkan Iran tetapi cukup melalui
Arab Saudi, disamping itu Amerika Serikat sedang menuju kebangkrutan ekonomi
sebenarnya.[6]
Iran adalah ancaman terbesar Amerika Serikat selain Korea Utara dengan kekuatan
militernya yang tidak teridentifikasi oleh CIA, China yang di yakini bisa
menghancurkan ekonomi Amerika kapanpun mereka mau[7]
dan rival tradisional mereka di perang dingin yaitu Rusia.
Analisa akhir untuk sementara Amerika terfokus di Yaman dan
sedikit mengabaikan Asia Tenggara bahkan Asia pada umumnya, karena di sana
sudah tertanam kuat ideologi kapitalisme dengan di tandai oleh pola pikir
konsumerisme, media dan SDA yang sudah di kuasai, dsb. Singkatnya di Asia
Amerika Serikat masih aman, walaupun tetap mewaspadai ancaman China. Untuk
itulah Amerika Serikat secara bertahap “memperkuat diri” di Asia Tenggara,
salah satunya adalah mengamankan selat Malaka yang ironisnya Indonesia tidak
mendapatkan apapun.
80% dr import minyak
China lewat Selat Malaka, jalur terbesar 2 didunia setlah Hormuz yg dikuasai
armada 7 Amerika Serikat.
Jadi yang paling masuk akal adalah membuat konflik di timur tengah
dimana Yaman menjadi sangat penting kepentingannya bagi Amerika Serikat dalam
melemahkan kekuatan Iran atau minimal membuat Iran sibuk dalam urusan ini.
[1] Ada wacana
justru isu sekretarian ini sengaja di ciptakan, sebagai referensi http://sunnisyiah.blogspot.com/2010/07/syiah-dan-sunni-konflik-yang-direkayasa.html, jika
sumber tersebut terlalu terkesan syiah maka kita bisa menyimak
pernyataan John Perkins dalam Economic Hitman, “jika kami (U.S.A) tidak suka
maka akan diciptakan konflik dst....”
[2] http://warofweekly.blogspot.com/2011/04/kronologi-perang-saudara-di-yaman.html
[3] Jika di
cermati ini semacam pakem atau typikal konspirasi Amerika untuk me manage
konflik negara dunia ketiga, merujuk
kepada slogan “ si vis pacem para bellum” (jika ingin damai maka bersiaplah
untuk perang). Hal ini identik dengan yang dikatakan John Perkins, “Jika suatu
negara tidak tunduk kepada Amerika atau pemimpinnya tidak bisa di korupkan,
maka akan di mulai dengan kebijakan ekonomi”. Kebijakan ekonomi yang dimaksud
adalah menciptakan inflasi salah satu caranya adalah kebijakan mencabut subsidi
BBM, dan Presiden Jokowi sedang melakukan hal yang serupa di Indonesia
[4] Bahkan
bisa jadi konflik ini justru sengaja di ciptakan oleh Amerika Serikat sendiri
melalui agen CIA
[5] USA
bersama Israel dan Inggris. Sewaktu artikel ini di tulis berkembang isu
hubungan Israel dengan USA memburuk
[6] Daya beli
di USA menurun, pengangguran juga bertambah
[7] Amerika
sudah berutang pada Cina begitu banyak , sehingga Cina dapat menghancurkan
ekonomi Amerika kapanpun mereka mau. Media cenderung menggambarkan Amerika
seperti pecundang dan China seperti kakak ipar yang terus meminjamkan uang.
Meskipun masih tergantung pada AS dan
ada juga anggapan jika mereka memutuskan untuk menarik alas ekonomi di Amerika
Serikat, mereka juga akan menjatuhkan ekonominya sendiri karena begitu
banyaknya pasar di AS. Tapi China mulai jauh mengalahkan Amerika dalam
mendidik remajanya, mereka bahkan menghasilkan lulusan perguruan tinggi lebih
dari Amerika.
Comments
Post a Comment