Demokrasi
Indonesia berjalan dan berkembang dengan baik, era teknologi media dan
komunikasi mengambil peran yang sangat besar bahkan vital bagi perkembangan
pendidikan masyarakat. Dengan mudah masyarakat awam bisa mengakses berita
politik dan kemanusiaan di internet dimanapun dan kapanpun, masyarakat biasa
tidak bisa lagi di bodohi oleh janji semu dan opini opini yang tersebar. Teori
“jarum suntik” di industri media sudah sangat berubah menjadi teori
stimulus-respon, dimana warga biasa bisa saling berargumen tentang isu politik
yang terupdate. Mereka membahasnya seperti zaman pembaharuan Perancis di zaman
Sartree, di warung kopi, di stasiun sambil menunggu kereta, waralaba sambil
bersantai dan sebagainya.
Hal
ini merubah perubahan paradigma berpikir masyarakat yang kemudian merubah
pandangan politik sehingga berimbas kepada perkembangan prilaku politik
masyarakat. Politik tidak lagi milik kaum menengah ke atas, aktivis atau
kalangan pebisnis yang membutuhkan informasi politik setiap harinya. Tidak
hanya berdiskusi, pandangan politikpun sekarang sudah bisa di salurkan melalui
banyak sosial media yang mengundang opini opini lainnya. Kita memasuki era
politik yang terbuka, bisa lah kita katakan ini buah reformasi.
Tetapi
mengapa politik jadi berkembang sedemikian rupa sejalan dengan perkembangan
demokrasi dan teknologi ? Aristoteles, filsuf Yunani yang bahkan tidak hidup di
zaman kita sudah mengatakan terlebih dulu bahwa kegiatan politik itu khas bagi
manusia, karena berpolitik merupakan puncak kesosialan manusia dan kesosialan
itu merupakan ciri khas manusia. Hidup secara sosial bagi Aristoteles berarti
bekerja sama berdasarkan diskursus rasional bersama, pertimbangan dan debat[1].
Bagi
kita, politik bukan bidang di mana kita menyatakan sifat sosial kita, melainkan
bidang yang justru abstrak. Hanya segelintir orang yang dapat berpolitik dalam
arti yang sebenarnya. Kita yang kebanyakan, kecuali berpartisipasi dalam
beberapa tindakan demokratis dan mengikuti perkembangan politik dengan prihatin
di media hampir tidak bisa di katakan berpolitik. Dalam berpikir dan berefleksi
bersama bersama, dalam perdebatan rasional dan berefleksi tindak berdasakan
pertimbangan kritis bersama. Kesepakatan kita sekarang bahwa suatu negara harus
di atur secara demokratis masih tetap berdasarkan pertimbangan itu. Maka
keterlibatan penuh manusia dalam urusan masyarakatnya, dalam dimensi dimensi
yang terbuka baginya, tetapi tanpa mengesampingkan dimensi apapun, mereka yang
tidak langsung berpolitik tetap diharapkan memperhatikan apa yang terjadi dalam
masyarakat, itu pun dengan penuh tanggung jawab.
Jadi
partisipasi masyarakat terhadap demokrasi khususnya pemilihan kepala daerah
menjadi sangat penting dalam perkembangan politik suatu daerah. Bagaimana
dengan Pilkada DKI Jakarta ? seperti pilkada di daerah lain, di Jakarta juga
mengalamai banyak masalah dalam rangkan memenuhi kemampuan harapan penyehatan
demokrasi ke depan. Simak kesimpulan yang di buat LP3S terkait persoalan
Pilkada sebelumnya di Jakarta pada tahun 2007[2]
Pertama, politik uang yang tetap
bertahan sebagai patologi menjijikkan ternyata mewarnai proses Pilkada langsung
di Jakarta. Di kalangan tim sukses kandidat Guberrnur dan Wakil Gubernur tidak
muncul upaya saksama purifikasi proses Pilkada dari pengaruh uang. Bahkan, tim
sukses bekerja berdasarkan mekanisme money politics. Penyingkapan tentang hal
ini berlandaskan pendekatan fenomenologis memperlihatkan fakta dan kenyataan
masih bersimaharajelalnya kekuasaan uang untuk mendulang suara masyarakat
konstituen. Memang, berbagai pernyataan verbal kalangan tim sukses mengelak
dari pembicaraan tentang money politic. Tetapi pengakuan orang per orang
anggota masyarakat, mendapatkan amplop saat hadir ke tengah kancah gathering
politik di bawah pengorganisasian tim-tim sukses. Ini menunjukkan, Pilkada
langsung di Jakarta gagal membangun legacy baru yang sepenuhnya menanggalkan
politik uang. Kenyataan buruk inilah yang sama sekali tak memungkinkan Pilkada
Jakarta menjadi faktor diterminan untuk menggeser money cracy agar sepenuhnya
digantikan oleh democracy.
Kedua, seleksi bagi
keikutsertaan kandidat dalam Pilkada langsung di Jakarta merupakan proses,
teknikalitas dan impresi kepentingan KPUD yang menegasikan kehendak publik.
Sebagaimana diketahui, Pilkada Jakarta mempertaruhkan partisipasi aktif
masyarakat untuk memilih kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur. Sementara,
“masyarakat” di sini berada dalam konstruk sosiologis yang spesifik, yaitu
habitus urban-megapolitan yang secara simultan mampu membangun kesadaran
kritis. Dari sini muncul sebuah implikasi yang tak sederhana pada tingkat
sosiologi politik.Bahwa, opsi masyarakat tak semata terpaku pada kandidat yang
diusung partai politik. Apa yang kemudian dikenal luas sebagai “calon
independen” tak lain dan tak bukan adalah kandidat Gubernurdan Wakil Gubernur
perorangan. Opini publik yang berkembang di media massa merupakan parameter,
bahwa sesungguhnya ada penerimaan secara luas dari pihak masyarakat terhadap
kehadiran calon independen. Sayangnya, KPUD menutup peluang tampilnya kandidat
independen.
Argumentasi yang diajukan
sebagai dasar penolakan itu adalah tak adanya ketentuan dalam
perundang-undangan yang membenarkan tampilnya kandidat independen. Hanya saja,
ketika pada 23 Juli 2007 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabsahkan kehadiran
kandidat independen itu, maka proses demokrasi dalam Pilkada langsung di
Jakarta benar-benar dirasakan sebagai sesuatu yang absurd, menjengkelkan dan
bahkan memuakkan. Tak adanya calon independen inilah pada akhirnya yang
mencetuskan implikasi tak sederhana, bahwa Golput dalam Pilkada Jakarta diproyeksikan
mencapai 65% .
Ketiga, mustahilnya Pilkada
Jakarta berfungsi sebagai elemen penentu masa depan demokrasi yang menjunjung
tinggi moralitas, tercermin secara sangat kuat pada saling curi start kampanye
dua pasangan kandidat. Apa yang
kemudian penting digarisbawahi dari kenyataan ini ialah proses demokrasi yang
telah kehilangan dimensi transendentalnya oleh gemuruh kampanye terselubung,
jauh sebelum masa resmi pelaksanaan kampanye itu sendiri.
Itulah mengapa, muncul berbagai
corak responsi publik melalui medium penyiaran radio, bahwa penempelan poster
di sembarang tempat dipersepsi secara luas telah mengondisikan Jakarta menjadi
lingkungan yang kian kotor, serta semakin kehilangan aura estetika.
Keempat, arak-arakan dan
kampanye jalanan mempertegas muskilnya Pilkada langsung di Jakarta mampu
melahirkan tradisi baru berdemokrasi secara elegan. Orkestrasi arak-arakan dan
kampanye jalanan ini mengingkari potensi buruk yang bakal ditimbulkan berupa
tercetusnya mobocracy.
Kita bisa merenung dan berpikir
mengambil pelajaran dari masa lalu. Era keterbukaan demokrasi dan makin
masifnya informasi di internet justru menghasilkan sikap politik yang
berlebihan dan muncul sebagai sikap politik warga. Ada semacam kesenjangan
antara demokrasi terbuka yang sedang berjalan dalam penerapan pilkada di DKI
dengan pendewasaan politik konstituen sebagai pemilih kepala daerah.
Ada banyak isu yang bisa di
akses, bahkan bisa dikatakan tidak bisa di konfirmasi kebenaran isu tersebut terkait
dengan pilkada DKI Jakarta. Saling menyudutkan, “perang pencitraan” dan
sebagainya yang merembet dalam kehidupan sosial masyarakat. Aksi kekerasan dan
beberapa aksi nyata pendukung salah satu kandidat yang mencederai proses
politik elegan di DKI Jakarta, menuntut adanya pengawasan sehingga menjadi
jalan pendewasaan politik bagi warga Jakarta.
Pengawasan pilkada mungkin di
anggap sebelah mata karena fungsinya hanya sebagai pengawas terhadap
pelanggaran pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu atau pilkada, tetapi
sesungguhnya merupakan budaya pembiasaan bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam politik secara santun, damai dan saling toleran. Bukankah konstituen yang
cerdas dalam politik bisa sangat berdampak terhadap proses demokrasi yang baik
dan patut di contoh ?
Comments
Post a Comment