Dalam
proses perkembangan Indonesia sebagai negara modern, peran HMI sebagai
organisasi perjuangan sudah tidak diragukan lagi. HMI adalah salah satu
institusi strategis bangsa ini yang mampu mengisi setiap kekosongan momentum
dalam sejarah bangsa ini, dengan aktivitas perjuangan. Konsekuensinya, HMI
dipercaya sebagai sumber rekrutmen kepemimpinan umat dan bangsa dalam kurun
waktu yang sangat lama. Setiap generasi di HMI semestinya harus memiliki
platform perjuangannya sendiri yang diperankan dengan baik sesuai dengan
porsinya sebagai organisasi sosial dan kemahasiswaan. Mengingat posisinya
sebagai bagian dari masyarakat sipil, bukan state.
Maka semua peran perjuangan HMI itu diarahkan untuk membela kepentingan
masyarakat dan umat. Berbagai dimensi masalah dan kepentingan merekalah yang
ditekankan dalam setiap era perjuangan HMI.
Namun,
realitas perkembangan HMI dan lingkungan strategis diluar HMI meyebabkan visi,
tafsir dan komitmen perjuangan HMI tidak selalu sesuai dengan harapan. Bahkan
yang paling sulit kita hindari adalah kuatnya arus politisasi HMI ketika
organisasi ini berinteraksi dengan
kekuasaan. Sampai kepada periode Anas Urbaningrum misalnya, HMI mengembangkan
dua strategi gerakan. Pertama, struggle
from within, yaitu pola dan tafsir perjuangan organisasi yang melihat
pentingnya kerjasama dengan penguasa politik. Dengan catatan bahwa konsep dan
peran pemerintah dan negara yang memiliki kesamaan dengan visi HMI, terutama
dalam membela keadilan, moral politik dan berorientasi pada kepentingan umat
dan bangsa. Kedua, struggle from without,
pejuang dari luar arena kekuasaan. Ini adalah implementasi gerakan yang
murni dalam memperkuat dan membangun masyarakat sipil[1].
Strategi
perjuangan HMI pada periode transisi dari otoriter ke demokrasi menjelang dan
pada masa awal reformasi 1998 itu hanya mampu menjaga survival dan eksistensi
HMI saja, tetapi tidak menampilkan HMI sebagai “pemenang” dalam mengakhiri
rezim Soeharto dan memulai transisi baru menuju demokrasi.Berbeda dengan masa
demokrasi terpimpin di bawah Soekarno, dimana HMI mampu membangun “ritme
gerakan” dari format yang dekat dengan kekuasaan Soekarno menjadi organisasi
yang melawan dan bahkan menjatuhkan kekuasaan Soekarno dan rezimnya. Studi yang
dilakukan oleh kalangan Alumni GMNI misalnya diketahui bahwa HMI lebih dekat
dengan Soekarno daripada GMNI. Meskipun visi perjuangan GMNI sangat identik
dengan visi kepemimpinan Soekarno, tetapi pemikiran, aktivitas-aktivitas
oraganisasi dan gerakan HMI lebih direspons dan diperhitungkan seorang
proklamator kemerdekaan RI tersebut. Seorang peneliti GMNI itu bercerita bahwa
ketika GMNI berusaha mendekati Soekarno, ternyata kurang begitu direspons oleh
Soekarno, tetapi kegiatan nasional HMI dapat diselenggarakan di istana negara
dengan sangat meriah dan didukung oleh presiden Soekarno[2]
Dengan
demikian HMI adalah organisasi kemahasiswaan yang mampu membangun hubungan dan
komunikasi politik dengan baik. Greg Barton dari Australian national University mengkategorikan peran perjuangan HMI
itu dengan istilah, politik akomodasionis. Jadi setiap peranan HMI selalu
berorientasi ketengah. Studi Barton yang mendalam tentang pemikiran-pemikiran
para alumni HMI, seperti Nurcholis Madjid dan Ahmad Wahib ditemukan suatu
kesimpulan, HMI meletakkan dasar pemikiran islam yang modern, neomodenisme
islam[3].
Aliran mendasar yag dilihat Barton adalah dari gagasan-gagasan yang mentransformasikan
gagasan-gagasan islam dengan fenomena dan perkembangan modern. Dengan
menggunakan rasionalitas dan metode-metode ilmu pengetahuan, generasi HMI ssat
itu mampu menjawab kejumudan (kemacetan) perkembangan umat islam, menjadi lebih
terbuka, modern dan demokratis.
Pada
periode kepemimpinan HMI di bawah Fakhrudin, telah mencoba membawa HMI sebuah
gerakan sosial yang kritis. HMI menyusun formula dari membangun gerakan oposisi
HMI. Namun, pola gerakan oposisi HMI saat itu kurang dapat diterima sebagai
format gerakan nasional HMI, mengingat taktis implementasinya menekankan kepada
“demokrasi jalanan” dan kritik terhadap kepemimpinan mantan presiden
Abdurrahman Wahid. Sejumlah cabang Hmi di Jawa timur harus menanggung
serangan-serangan bahkan tindakan anarkis dari massa pendukung presiden.
Mengkaji
bagaimana desain visi perjuangan HMI saat ini, tentunya berbeda dengan
organisasi-organisasi kemahasiswaan lainnya di Indonesia. Apalagi membandingkan
dengan kemampuan KAMMI dalam membangun gerakan-gerakan populis dan dengan jelas
menciontohkan dan berpihak kepada advokasi kepentingan umat islam.Bagi KAMMI
gerakan seperti itu diperlukan, mengingat ussia dan kiprahnya yang baru dan
mereka tidak menanggug beban sejarah, seperti yang kita alami. Setiap gerakan
HMI tentu harus menjamin kontinuitas (keberlanjutan). Yudi Latif, dalam studi
mendalamnya tentang genereologi intelegensia dan kuasa menemukan titil
kontinuitas gerakan intelegensia islam sejak munculnya nasionalisme di
Indonesia dengan gerakan pembaharuan islam dan keegaraan HMI di pentas
indonesia kontemporer. Isu utama bearti mengusung suatu gerakan yang sudah
berusia satu abad lamanya[4]
Agenda
strategis yang menjadi pilihan perjuangan HMI saat ini tidak lain adalah islam
dan demokrasi. Bagi ilmuan di barat, Samuel Huntington, demokrasi barat di
bangun dari spirit protestanisme (semangat etika protestan) dan visi seperti
itu merupakan titik kontinum dari semangat pencerahan (renaisance) sejak abad ke 16 dimana praktek demokrasi Amerika
Serikat dan posisinya sebagai negara “super power” adalah sari pati dari
integrasi kristen dan Amerika serikat.
Sebagai buktinya secara simbolik, dipusat-pusat pemerintahan dan
lembaga-lembaga negara bisa ditemukan tulisan “In God We Trust”.
Menurut
Bryan S. Turner[5] Islam
memberikan sumbangan kultural yang berharga bagi barat dan menjadi kebudayaan
dominan di beberapa masyarakat mediterania. Sementara islam tidak selalu
diidentikan sebagai agama timur (oriental), karena antara islam, kristen dan
yahudi sama-sama bersumber dari kepercayaan Abrahamic
religion. Islam menjadi bagian penting kebudayaan spanyol, sisilia dan
eropa timur.
Sebagai
salah satu kekuatan mahasiswa, HMI harus senantiasa membangun gerakan mahasiswa
dengan tetap mampu menjadikan dirinya sebagai kekuatan penekan (presure group) dan kemudian menjadi
kekuatan moral (moral force).
Strategi ini secara konvensional masih sangat diperlukan, dalam upaya melawan
penguasa yang korup, represif dan yang tidak mempedulikan kepentingan rakyat.
Hanya saja, untuk mencapai kepada gerakan yang kuat dan sinergis dengan
berbagai kekuatan lainnya, maka perlu menggunakan tafsir kiri-marxist. Marxisme
sangat bagus utuk menjelaskan perlawanan terhadap status quo dan negara yang
tiranik.
Pola
seperti yang pernah sukses dilakukan alm. Munir, senior HMI dalam
memperjuangkan keadilan dan HAM menarik dijadikan sebagai model. Dalam setiap
perjuangan, Munir selalu merujuk kepada Nilai Dasar Perjuangan (NDP) khusunya
dibab terakhir yang menjelaskan kosep keadilan sosial. Meskipun tidak relevan
diterapkan disemua elemen HMI pola seperti itu dan lebih tepat digunakan di
cabang-cabang yang selama ini dikenal sebagai episentrum gerakan nasional HMI.
Visi perjuangan HMI kedepan diharapkan harus mampu membangun demokrasi muslim
yang dapat dijadikan model bagi negara-negara muslim dan asia tenggara.
Lebih
lanjut, sebelum membahas tentang visi HMI kedepan harus di pertimbangkan bahwa
Indonesia adalah negara yang tidak berdasarkan syariat islam, tetapi
nilai-nilai kemanusiaa, kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung
didalamnya diharapkan dapat diterapkan dan mewarnai kehidupan bangsa dan negara
ini. Dalam konteks itu, peran HMI sangat dibutuhkan sekali. Hal itu disebabkan
karea beberapa hal. Pertama, HMI salah satu institusi yang banyak menyumbangkan
gagasan dan pemikiran kebangsaan. Istilah islam keindonesiaan sudah menjadi
terma yang akrab dengan HMI. Kedua, HMI memiliki pengalaman dalam artikuasi dan
kepemimpinan dalam lembaga-lembaga kenegaraan. Peran strategis yang dilakukan
oleh alumni-alumni HMI, mulai dari wakil presiden, ketua lembaga-lembaga tinggi
negara banyak diwarnai dari kalangan HMI. Ketiga, sebagaian kelompok islam yang
demokrat dan moderat, HMI bisa diterima sebagian elemen bangsa ini. Keempat,
masalah jumlah sebaran kader dan anggota
yang menjangkau hampir seluruuh wilayah Indonesia.
Berbagai
keunggulan HMI diatas, memungkinkan untuk melanjutkan konsolidasi demokrasi
kearah yag subtansial yakni demokrasi yang stabil dan membawa kesejahteraan dan
keadilan sosial. Demokrasi Indonesia dalam 10 tahun terakhir baru menerapkan
demokrasi prosedural. Semua kalangan masih cemas dengan perkembangan demokrasi
seperti ini, karen adalam proses pilkada sebagai salah satu bentuk praktek
demokrasi membutuhkan “biaya politik” yang tinggi, sementara pemimpin politik
yang dihasilkan belum tentu mampu menciptakan good and governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Penerapan
pilkada lagsung justru menimbulkan semakin tinggi dan menyebabkan penyelewengan
dan korupsi.
Pada
dekade 1990 an , HMI adalah organisasi yang banyak mengusung dan mendialogkan
masalah masyarakat madani, seiring dengan gagasan dan wacana tentang upaya
memperkuat masyarakat sipil (civil
society) agar mampu mengimbangi negara. Fenomena orde baru menunjukkan
bahwa negara menjadi institusi yang sangat kuat, bahkan terpersonalisasikan
pada presiden Soeharto.
Istilah
civil islam muncul dari Robert W hefner, antropolog islam, Amerika Seikat.
Hefner melihat fakta dimana terdapat perkembangan masyarakat sipil khas
Indonesia yang tumbuh dari masyarakat perkotaan dan sejumlah organisasi penting
seperti HMI dan ICMI[6]
Wacana
masyarakat sipil islam ini tidak berkembang dengan baik, sampai terjadinya
reformasi menuju demokrasi di Indonesia. Isu pemberdayaan dan peguatan
masyarakat sipil bukanlah mainstream perjuangan HMI. Sebab, fokus HMI adalah
pada megubah da mewarnai kepemimpinan politik dan birokrasi negara. Kalaupun,
terdapat orientas kearah masyarakat, target HMI adalah political society (masyarakat politiknya).
Investasi
yang paling baik bagi suatu bangsa adalah investasi dalam bidang sumber daya
manusia. Sebagaimana diketahui HMI sebagai organisasi perjuangan juga bersifat
independen seperti layaknya organisasi mahasiswa pada umunya dalam tatara
idealisme mahasiswa.
Hal
ini dapat ditemukan dalam tafsir tujuan HMI, bahwa investasi manusia yang akan
dihasilkan oleh HMI adalah mausia-manusia yang berkualitas ilmu, iman yang
mampu melaksanakan tugas-tugas kerja bangsa Indonesia yang akan menjamin suatu
kehidupan yang sejahtera secara material dan spiritual.
Fungsi
perkaderan HMI dengan tujuan terbinanya manusia yang berilmu, beriman dan
berkeprimanusiaan seperti tersebut, maka setiap anggota HMI di masa yang akan
datang akan menduduki jabatan dan fugsi yang sesuai dengan bakat dan
profesinya.
Soal
mutu dan kualitas ini merupakan konsekuensi logis dari garis independensi HMI
yang harus disadari oleh seluruh pimpinan dan seluruh anggotanya adalah suatu
modal dan dorongan untuk selalu meningkatkan mutu kader-kader HMI sehingga
mampu berperan aktif pada masa yang akan datang.
[1]
Sidharta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan, prestasi Pustaka, Jakarta, 2006
[2]
Makalah “Perspektif Tantangan HMI dan Demokrasi di Indonesia” oleh Sidharta
Mukhtar dalam diskusi pra kongres HMI ke 26 oleh Majelis Pekerja Kongres (MPK)
PB HMI 11 Juni 2008
[3]
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia,Paramadina, Pustaka Antara,
Jakarta 1999
[4]
Yudi latif, Intelegensia dan Kuasa, Mizan, 2006
[5]
Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat,Bongkar Wacana Atas
:islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme dan Globalisme, Ar Ruzz
media, Yogyakarta, 2006
[6]
Saiful Mujani, Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik
di Indonesia Pasca Orde Baru, Gramedia, Jakarta 2007
Comments
Post a Comment