Mahasiswa Di Simpang Jalan


Teori hegemoni mengajarkan kepada kita bahwa negara hanyalah alat untuk menguasai atau di kuasai. Indonesia sebagai entitas sebuah negara yang telah mengalami sejarah panjang peradaban juga tidak lepas dari dominasi antara yang dominan dengan yang di dominasi. Dalam catatan sejarah bangsa, kita mengetahui negara ini pernah mengalami pergolakan sejarah yang buruk, mengalami revolusi yang memunculkan banyak korban anak negeri.
Sejarah buruk bangsa mengajarkan kita bahwa Indonesia berdiri, berkembang dengan begitu macam realitas social yang menjadi masalah social di kemudian hari bagi bangsa ini. Fenomena social yang kita temui diantaranya, kaum elitis politik berebut jadi pimpinan ditengah kemiskinan yang terstruktur, anak kecil menjadi pengemis di lampu merah berjalan-jalan di antara mobil mewah yang berlalu-lalang. Di sudut-sudut dari ramainya gedung-gedung mewah di Jakarta terdapat rumah-rumah kumuh atau warung-warung kecil yang kemungkinan di gusur. Realitas ini menggambaran tanggung jawab mahasiswa sebagai golongan elit intelektual untuk berbuat sesuatu menyelamatkan bangsa.
Hal ini menempatkan posisi penting mahasiswa sebagai golongan tengah berperan sebagai golongan netral dan berpotensi menjadi golongan penggerak perubahan social. Mahasiswa dengan gerakan moral dan pemikiran rasionalnya mampu menjelaskan koreksi  kepada elit pemerintah atau elit yang berkuasa bahwa mereka sedang melakukan kesalahan, peran mahasiswa juga untuk menjelaskan kepada rakyat biasa tentang program-program pemerintah yang akan mensejahterakan mereka atau menyusahkan mereka.
Mengingat posisi strategis mahasiswa dan menurunnya kualitas partai politik sebagai media penyadaran politik aktif kepada masyarakat, maka peran pendampingan rakyat dalam mencapai tujuan bangsa di ambil oleh mahasiswa sebagai golongan tengah bersama dengan seniman dan pers.
Mahasiswa kemudian diharapkan menjadi motor penggerak layaknya doktrin mereka sebagai agen of change, agen of social dan social control. Yang terjadi adalah golongan mahasiswa juga tidak sepenuhnya bisa diharapkan sebagai motor penggerak perubahan social karena mahasiswa juga manusia politik yang bisa jadi pragmatis atau idealis. Bisa jadi beberapa kaum elit mahasiswa malah menjadi “pendamping” pemerintahan yang korup dan membiarkan rakyat miskin terus menjadi di zalimi. Gramsci menyebutkan golongan ini sebagai golongan intelektual yang “kawin” dengan kekuasaan. Mereka tidak ubahnya sebagai “pelacur intelektual”

Comments