Allah


Apabila berdiskusi tentang percaya akan Allah, kita harus selalu melacak apa yang dimaksud dengan "Allah". Bagi banyak orang di dunia barat, hal ini berarti ide kekanak kanakan dan mitologis tentang orang tua di langit dengan jenggot dan jubah putih. Sejarah agama mengungkapkan lebih banyak pengertian yang mengilhami kekaguman akan hal itu.

Paham biblis tentang Allah dapat bersifat antropomorfis, sekaligus menggunakan imajinasi manusia tentang Allah, tetapi ia juga luhur dan spiritual. Allah adalah roh, tak terbatas, melampaui kita. ketika Musa berlutut di depan semak yang terbakar dan menanyakan siapa nama Allah, muncul jawaban "Aku ada". Tidak ada nama, tidak ada bentuk, hanya keberadaan. Para teolog modern seperti Paul Tillich berbicara tentang Allah sebagai "keprihatinan terakhir", atau "landasan keberadaan kita". Tidak ada jenggot, hanya keberadaan.

 Apa yang di tolak oleh spostmodernis adalah Allah sebagai landasan, sebagai titik pasti dan tetap, yang di atasnya seluruh metafisika dan seluruh pengetahuan disusun. Tidak ada landasan atau titik tetap. Kehidupan mengalir.

Tetapi apakah "Allah" mereka adalah sesuatu yang lebih daripada simbol moral dan spiritual ? Teolog Cambridge yang radikal Don Cupitt mengambil garis ini. Ide pokoknya adalah bahwa, karena kita tidak dapat melangkah keluar dari bahasa, semua konsep tradisional tentang Allah sebagai sesuatu yang transedental adalah tak bermakna.

Allah hanyalah keseluruhan tata nilai. Kalau kita tidak lolos dari bahasa, apakah Allah benar benar riil di luar pikiran kita ?

Postmodernisme by Kevin O'Donnell



Comments